Segunduk nasi putih, hangat mengepul, tersaji di meja makan sederhana di depanku. Bersamaan dengan geliat uap yang menyapa penciuman, terhirup aroma khas nasi putih yang baru saja diangkat dari perapian. Ada tohokan di hati yang sontak membuatku terdiam. Keluarga temanku yang sangat sederhana ini berupaya keras untuk menjamu tamu sebaik mungkin. Kala itu di kalangan penduduk Wonosari yang terpencil, nasi putih hanya dihidangkan di saat-saat istimewa. Sehari-hari mereka mengolah nasi tiwul yang berbahan dasar gaplek (kupasan singkong yang dijemur sampai kering).
Sesungguhnya aku mengiyakan ajakan temanku untuk berkunjung ke desanya karena ingin ikut merasakan sulitnya hidup di daerah terpencil yang selalu mengalami kekeringan. Mencukupkan diri mandi dengan dua gayung air dari lubang sempit di tanah. Itu pun setelah berjalan cukup jauh dari rumah penduduk. Bergelap-gelap selepas petang karena belum ada listrik. Membatasi minum di malam hari sebab repot sekali kalau harus keluar rumah malam-malam untuk pipis. Pengalaman itu benar-benar membekas dalam.
Satu hal yang kunanti-nanti keesokan paginya adalah sarapan nasi tiwul sederhana bersama keluarga yang ramah ini. Jauh-jauh hari temanku sudah bercerita tentang menu wajib di keluarganya ini. Dan pagi itu … nasi tiwul yang kutunggu-tunggu tak kunjung muncul. Sebagai ganti adalah sebakul kecil nasi putih yang hangat mengepul. Harapanku pupus. Sambutan keluarga ini atas kehadiranku sungguh menyentuh hati … namun sejatinya aku sangat berbahagia bila boleh menikmati sepiring nasi tiwul seperti yang biasa mereka santap.
Sampai sekarang setiap kali menghadapi jajanan tiwul, aku terkenang akan nasi tiwul yang bertukar tempat dengan nasi putih itu. Di saat-saat aku sulit menerima keterbatasanku, serta merasa dituntut untuk berbuat melampaui kesanggupanku … aku ingat, kadang tiwul lebih didamba daripada nasi putih. Ada keunikan dan keindahan tersendiri di dalam ketidaksempurnaan yang dilakoni dengan rela. Dan aku berhenti memaksa diri. Kembali bahagia menjadi diri sendiri dan mengembangkan diri secara wajar.
Wah, pasti itu jadi pengalaman berharga yg tak terlupakan ya 🙂
SukaSuka
Eh tiwul ini kan udah rasa nya gurih yaaa, kalo di campur pake lauk pauk giman arasa nya yaaa ??? #Penasaran
Kayak contok di makan pake rawon atau soto hehehe
SukaSuka
Yang sama2 penasaran, toss dulu 😀
btw, ku malah blum tahu lho contok itu spt apa & gimana rasanya
SukaSuka
Wah ternyata nggak cuma putri aja ya yang bisa tertukar? Hahaha..
SukaSuka
😀 untungnya rejeki ndak bisa tertukar ya
SukaSuka
Aku dulu pas hamil ngidam tiwul susah banget nyarinya
SukaSuka
Wah, padahal di pasar tradisional kotaku cukup banyak lho mba. Tapi yaa itu, yg manis bergula jawa, bukan yg biasa jadi pengganti nasi putih
SukaSuka
Judul artikelnya kaya judul sinetron, “anak yang Tertukar”,, hehee,
SukaSuka
Iya, siapa tahu bisa jadi beken kayak sinetron itu 😉 *ngelindurjelangpagi
SukaSuka