Semalam di Kereta

Jarak usia kami 13 tahun. Adik perempuanku dan aku. Jadi di masa remajaku yang penuh gejolak, adikku masih sangat kecil dan tak tahu menahu tentang apa yang kualami dan kurasakan. Terlebih lagi aku menumpang di rumah Kakek, jadi kami jarang bertemu.

Kala ia tumbuh menjadi seorang anak perempuan kecil yang lincah, aku sudah kuliah di luar kota. Praktis pertemuan kami semakin langka. Saat ia butuh teman bermain, aku tak ada. Saat ia butuh bantuan dengan pelajaran sekolah, aku jauh di luar kota. Aku nyaris selalu tak ada baginya. Hanya di masa-masa libur kuliah saja aku bisa berkumpul sebentar dengannya sambil membawakan majalah-majalah anak dan buku-buku cerita bergambar.

Meski jarang bertatap muka, benturan-benturan yang dipicu oleh perbedaan karakter dan beda usia yang jauh betul-betul tak terelakkan. Tapi tetap saja aku sayang padanya. Acap kali di tengah keasyikan menyisir rak demi rak di toko buku, aku teringat adikku. Lalu kutambahkan satu dua buku dan majalah anak ke dalam kantong belanjaku. Menyediakan bacaan yang bernutrisi adalah caraku untuk mengungkapkan rasa sayangku padanya.

Di antara setumpuk perbedaaan yang mencolok antara adikku dan aku, salah satunya adalah kegemarannya melancong. Dia sangat bersemangat setiap kali diajak pergi. Tak peduli cuma jalan-jalan di dekat-dekat saja atau melebar sampai keluar kota, dia selalu menyambut dengan antusias. Berkebalikan denganku yang sejak kecil sampai masa kuliah sangat enggan jika diajak pelesiran.

Mabuk. Itulah alasan utamaku menghindari pergi jauh. Sejak kecil aku mudah sekali terserang mabuk. Darat, laut dan udara, komplet dah seperti jingle iklan obat anti mabuk. Kondisi itu mendorongku untuk memusuhi alat-alat transportasi seperti bus, kapal laut maupun pesawat terbang. Segala tips untuk mencegah mabuk tak mempan buatku. Kalaupun terpaksa aku harus pergi, obat anti mabuk pasti setia menemani. Itu pun tak sepenuhnya menjamin perjalananku akan bebas dari serangan pusing dan sebangsanya. Syukurlah sekarang ini kondisiku sudah jauh lebih lumayan sehingga bisa menikmati keindahan tempat-tempat yang letaknya jauh sekalipun.

Nah, suatu kali di masa kuliah ada kesempatan bagus untuk membawa adik perempuanku ke Jakarta. Kami belum pernah bepergian berdua. Aku girang banget bakal mengajak dia jalan-jalan sekaligus mengurusnya selama di sana. Masih duduk di bangku TK atau awal SD deh kayaknya dia waktu itu. Aku memilih mengajaknya naik kereta api karena moda transportasi itu tak terlalu membuatku mabuk dibandingkan yang lain. Waktu itu jika ingin mengecek harga tiket kereta api dan memesan harus datang ke stasiun langsung, tidak seperti di era internet sekarang yang membuat banyak hal menjadi lebih praktis.
harga tiket kereta

Dan berangkatlah kami ke Jakarta. Bepergian dengannya membuatku belajar lebih mengerti tentang dia dan tingkah laku anak-anak seusianya. Aku yang masih muda dan masih gagap dalam membimbingnya dicelikkan bahwa menerapkan teori pendidikan dari bangku kuliah tak semudah menuliskan jawaban di atas kertas ujian. Hhh, beberapa kali kewalahan aku menghadapinya.

Beberapa kali pula aku dikejutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku terdiam. Seperti saat tiba-tiba ia menatapku dan bertanya dengan tatapan polosnya, “Kakak tidak kangen Ibu?” Aku terdiam, kucoba membaca raut wajahnya. Di balik sikapnya yang tampak biasa saja ternyata tersimpan kerinduan yang terpendam terhadap Ibu, terhadap rumah …. Ahh, aku lupa kalau dia masih kecil. Ini pengalaman pertamanya jauh dari Ibu. Tentu saja terasa berat baginya. Dan tanggung jawabku rasanya semakin bertambah … siapa lagi yang menjadi sandarannya kalau bukan aku di sini?

Bagaimanapun adik perempuan kecilku tetaplah anak yang periang. Kami menikmati dolan ke sana-sini di Jakarta. Menyambangi sanak keluarga di sana. Dia tampak sangat menikmati pengalaman barunya. Tak mengalami kesulitan juga saat bertemu dengan orang-orang baru. Dan ketika tiba waktunya untuk pulang, setelah memesan tiket kereta api sekali lagi kami naik kereta api berdua. Dalam keadaan sama-sama lelah, kami duduk berdampingan ditingkahi irama roda kereta dan guncangan-guncangan pelan yang mengundang kantuk.

Malam itu, di atas kereta yang melaju kencang, kami dua bersaudara yang tak punya banyak waktu untuk bersama, duduk berdua di dalam gerbong kereta menuju pulang. Sedikit berbincang, masih sempat bertengkar pula, sebelum akhirnya adikku tertidur kecapaian. Kepalanya tersandar di jendela. Kadang terjatuh di pundakku. Tersentak sejenak, lalu tidur lagi. Dan malam itu aku bersyukur atas setiap detik yang kulalui berdua dengan adik perempuan kecilku. Bersyukur dia bersedia pergi hanya denganku … meski aku masihlah kakak yang jauh dari sempurna.

18 respons untuk ‘Semalam di Kereta

  1. Rahma

    Berasa sdg baca kisahku sendiri dengan kakak perempuanku. Dirumah yg perempuan cm kami berdua. Lainnya cowok. Aah jd tau perasaan kakak perempuanku malah. Kalo dl aku tanya hal2 yg mungkin ga penting baginya tp penting bagiku… hihihi

    Suka

  2. hidayahsulistyowati

    Nggak nyangka mba Evy punya adik dengan usia yg beda jauh. Salam buat adiknya ya mba, pasti sekarang sedang kangen nih dengannya. Sampai nulis tentang pengalaman naik kereta berdua, hehehee

    Suka

  3. dianravi82

    Aku dan adikku terpaut 15 tahun. Kayaknya asik sekali pergi berduaan gitu. Aku belum pernah sih. Biasanya kalau traveling bertiga sama mamaku. Memang jadi kenangan tersendiri.

    Suka

Terima kasih telah berkunjung dan menyempatkan waktu untuk berkomentar