
Tanggal 20 Mei 2013 menjelang petang, Ibu dan aku menjejakkan kaki di bandara Suvarnabhumi, Bangkok. Local guide yang seharusnya menjemput kami tak kunjung menampakkan diri. Mataku sampai pedas memelototi papan-papan nama yang diacung-acungkan ke arah kami. Orangnya mana nih?
Melihat gelagatnya, kayaknya aku harus ngubek seantero Suvarnabhumi untuk mencarinya. Tak tega membiarkan Ibu membuntutiku ke sana kemari sambil menggeledek koper, kuminta Ibu menunggu di satu titik seraya wanti-wanti agar beliau tidak menyusulku. Soalnya Ibu mudah panik dan gampang lupa arah.
Jadilah aku mengukur ubin bandara dari ujung ke ujung. Gak ketemu juga. Aduuuh, selain capek dan pusing, pikiranku terus-menerus melayang ke Ibu. Akhirnya aku dibantuin warga lokal yang kasihan melihatku letih bolak-balik gitu. Ternyata tour agent yang di Indonesia keliru ngasih tahu meeting point-nya. Ihh, kok bisa sih. Tapi bersyukur sekali karena ada warga lokal yang berbaik hati nolongin kami tanpa pamrih.
Malam itu kami selamat sampai ke hotel. Berakhirlah drama hari pertama. The one and only, habis itu gak ada drama-dramaan lagi. Ya iyalah, wong cuma nginap tiga malam kok disuruh main drama terus.
Besoknya langsung menyusuri Chao Phraya River dan berhenti di Wat Arun (The Temple of the Dawn).
Mendekati lokasi Wat Arun, gerombolan ikan yang gemuk-gemuk tanpa takut berenang menghampiri perahu kami. Tukang perahu mempersilakan kami membeli roti yang disediakan khusus buat ikan. Menurut cerita local guide kami, ikan-ikan bebas hilir mudik di sekitar pagoda karena masyarakat tak berani menangkap atau mengganggu mereka di lingkungan sakral itu.
Setelah melihat-lihat di bagian bawah dan naik sedikit, aku tanggap kalau Ibu tak mungkin sanggup lanjut ke atas. Karena itu kuantar Ibu ke tempat favorit beliau (baca, pusat souvenir) yang bersebelahan dengan lokasi pagoda.
Selepas itu kami melanjutkan perjalanan ke Pattaya seraya mampir di Sriracha Tiger and Crocodile Farm. Sriracha Tiger Zoo-nya tidak istimewa, tapi pertunjukan buayanya sempat membuat jantung berdesir tajam. Itu pawang nekad masukin kepala ke rahang buaya. Awalnya mulut si buaya diganjal kayu. Lama-lama ganjalnya gak dipakai lagi. Langsung saja kepala pawang masuk ke mulut buaya dan dia nyengir sambil dadah-dadah ke arah penonton. Sepersekian detik sebelum si buaya mengatupkan rahang tanpa ampun, sang pawang dengan gesit meloloskan kepalanya dari jebakan maut. Fiuhhh.
Sehabis dibuat tegang oleh pertunjukan buaya, sorenya kami diajak menikmati semilir angin di Pattaya Beach. Hmmm, numpang duduk sebentar pun harus bayar sewa.
Kami tak bisa berlama-lama di pantai Pattaya karena harus buru-buru antre tiket Alcazar Cabaret. Atraksi tarian dan nyanyian (lip sync) yang dibawakan oleh para penari transgender ini didukung oleh penataan panggung, pencahayaan dan koreografi yang apik. Tapi bagi yang berlibur bareng anak-anak, jangan membawa mereka ke sini karena intermezo-nya terlalu ‘berani’ untuk anak-anak. Aku saja kaget dibuatnya.
Setelah melewatkan satu malam di Pattaya, esok paginya kami diantar berbelanja ke Floating Market. Di sini ada dua peserta yang kesasar sampai telat banget ngumpul di meeting point. Akibatnya sesampainya di Nongnooch Village, jujugan berikutnya, kami cuma kebagian ending atraksi Thai Traditional Dance and Elephant Show .


Masih sempat diantar ke pabrik perhiasan batu alam dan ke pusat perbelanjaan juga sebelum melewatkan malam terakhir di Bangkok.

Pagi terakhir kami lewati dengan jalan-jalan berdua saja di sekitar hotel. Terperangah dengan keruwetan kabel-kabel listriknya sambil nyobain street food Bangkok sebelum diantar ke bandara Suvarnabhumi untuk kembali ke Jakarta.
22 respons untuk ‘Suvarnabhumi, mana local guide-nya?’